using

· Uncategorized
Penulis

PRODUKSI, KONSUMSI, DISTRIBUSI DAN SIRKULASI

DALAM ISLAM

A.    Etika Bisnis Yang Mendasari Dalam Bidang Sirkulasi

Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan, penghormatan, keadilan dan lain-lain. Tetapi moralitas bisnis saja belum cukup untuk dapat menjalankan suatu usaha bisnis. Bisnis selalu berkaitan dengan relasi antar individu dan kontrak/ kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu saja harus ada hukum yang disepakati bersama dalam berbisnis. Karena itu hukum bisnis merupakan syarat utama agar bisnis dapat berjalan lancer. Setiap perkara yang berkaitan dengan dengan bisnis akan diselesaikan dengan hukum bisnis yang berlaku.

Adapun pengertian atau hakikat bisnis adalah kemampuan mengelola perputaran uang. Bisnis merupakan bentuk lahan usaha dari wirausaha. Bisnis tersebut dapat bergerak diberbagai bidang seperti jasa, produsen atau pemasaran. Tetapi inti dari bisnis itu adalah memutar uang yang ada (modal) melalui suatu lahan usaha tertentu sehingga menghasilkan keuntungan . Bisnis atau kewirausahaan dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk dapat menciptakan pekerjaan berdasarkan sumber daya yang ada.

B.     Etika Dan Hukum Bisnis Islam Dalam Perilaku Wirausaha

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:

1. Shidiq (Jujur)

Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

2. Amanah (Tanggungjawab)

Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.

3. Tidak Menipu

Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)

“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)

4. Menepati Janji

Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.

5. Murah Hati

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.

6. Tidak Melupakan Akhirat

Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat.

C.     Konsep Jual Beli Dalam Islam

Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.

Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.

D.    Asas Teori Perdagangan Islam

Asas perdagangan Islam adalah Islam itu sendiri, yang meliputi tiga aspek pokok yaitu aqidah, akhlaq dan hukum (yang dalam fiqih Islam yaitu pembahasan mu’amalah). Asas aqidah merupakan dasar yang tidak dapat dihindari dalam teori ekonomi Islam yang cabangnya termasuk perdagangan. Pengerian aqidah adalah ketetapan (pegangan) yang tidak diragukan oleh penganutnya, lebih tegasnya adalah kepercayaan yang tidak dicampuri keraguan apapun oleh penganutnya. Allah berfirman (artinya) : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi(QS. Al-Baqarah 2 : 284). Sementara pada ayat yang lain menyebutkan bahwa manusia adalah pemilik harta, sebagaimana firmanNya (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kamu dengan cara yang bathil (QS Al-Nisa’ 4 : 29). Dari dua firman diatas dapat difahami bahwa pemilik sesungguhnya dari apa saja yang di langit dan di bumi serta isinya adalah Allah, sementara kata “kamu” dengan yang dimaksud manusia, menujukkan bahwa peran manusia dalam pemanfaatan hara hanyalah sebagai khalifah (wakil)Nya. Sehingga aqidah sebagai asas perdagangan mempunyai pengertian meyakini bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifah Allah fi al-ardhi), kemudian keyakinan itu dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan tugas-tugas kehkalifahan sesuai dengan aturan (syari’at)Nya. Selanjutnya asas akhlaq (etika) menjadi pendukung dan pengatur motivasi serta tujuan yang tidak dijangkau oleh hukum, sehingga tata hubungan antar manusia dalan urusan mu’amalat tetap terjaga dengan baik. Adapun asas hukum menjadi ketentuan tingkah laku lahiriah aktivitas bermu’amalat.

E.     Karakteristik Perdagangan Islam

Perdagangan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi yang secara tegas sah (halal) menurut Islam, maka ia mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :

1.      Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Khalifah Harta.

2.      Terikat dengan Aqidah, Syari’ah (Hukum) dan Akhlaq (Moral).

3.      Seimbang antara Keruhanian dan Kebendaan.

4.      Adil dan Seimbang dalam Melindungi Kepentingan Ekonomi Individu dan Masyarakat.

5.      Tawassuth dalam Memanfaatkan Kekayaan.

6.      Kelestarian Sumber Daya Alam.

7.      Kerja (Tidak Menunggu).

8.      Zakat.

9.      Larangan Riba.

A.      PRODUKSI DALAM ISLAM

Produksi merupakan sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Menurut Dr. Muhammad Rawwas Qalahji kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-Intajyang secara harfiah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewjudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin(pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsurnsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).

Produksi menurut Kahf mendefenisikan kegiatan produksi dalam prespektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagian di dunia dan akhirat.

2.         Prinsip-prinsip Produksi

Beberapa prinsip yang diperhatikan dalam prduksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-Mubarak, sebagai berikut:

1.      Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan dengan syariah.

2.      Di larang melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kedzaliman.

3.      Larangan melakukan ikhtikar (penimbunan barang).

4.      Memelihara lingkungan

Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain :

1.      Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami

2.      Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan

3.      Permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.

3.         Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Prinsip Produksi

Salah satu ayat tentang produksi yaitu Ayat yang berkaitan dengan faktor produksi Tanah dalam Surat As-Sajdah : 2

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?

Sedangkan di dalam hadit, salah satunya sebagai berikut:

HR Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia harus memberikannyakepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini.”

4.         Tujuan Produksi

Menurut Nejatullah ash-Shiddiqi, tujuan produksi sebagai berikut:

1.      Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar

2.      Pemenuhan kebtuhan keluarga

3.      Bekal untuk generasi mendatang

4.      Bantuan kepada masyarakat dalam rangka beribadah kepada Allah.

Menurut Ibnu Khaldun dan beberapa ulama lainnya berpendapat, kebutuhan manusia dapat digologkan kepada tiga kategori, yaitudharuriyah, hajjiyat, tahsiniyat.

5.         Faktor-faktor Produksi

1.        Tanah dan segala potensi ekonomi di anjurkan al-Qur’an untuk di olah dan tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.

2.        Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.

3.        Modal, manajemen dan tekhnologi.

6.         Etika dalam Produksi

Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:

1.        Peringatan Allah akan kekayaan alam.

2.        Berproduksi dalam lingkaran yang Halal. Sendi utamanya dalam berproduksi adalah bekerja, berusaha bahkan dalam proses yang memproduk barang dan jasa yang toyyib, termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam berproduksi.

3.        Etika mengelola sumber daya alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan visi penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam.

4.        Etika dalam berproduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilai-nilai sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja sebagai sendi utama produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.

5.        Khalifah di muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna suatu barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari keridhaan Allah Swt.

B.       KONSUMSI DALAM ISLAM

1.         Pengertian dan Tujuan Konsumsi dalam Islam

Salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi  berperan sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara. konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.

Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab)

Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan  tentang  perhiasan.

2.         Prinsip-prinsip Konsumsi

Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:

a.         Prinsip Keadilan

b.        Prinsip Kebersihan

c.         Prinsip Kesederhanaan

d.        Prinsip Kemurahan Hati

e.         Prinsip Moralitas.

3.         Etika Konsumsi

Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:

a.       Tauhid (Unity/ Kesatuan)

Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu rubaniyyah gayah(tujuan) dan wijhah (sudut pandang).

b.      Adil (Equilibrium/ Keadilan)

Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang(balance) dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi.

c.       Free Will (Kehendak Bebas)

Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha danqadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.

d.      Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)

Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

e.       Halal

Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut.

f.       Sederhana

Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi. Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud. Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.

C.      DISTRIBUSI DALAM ISLAM

System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

1.         Urgensi dan Tujuan Distribusi[17]

Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan mendukung para pedangang yangg berjaln di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:

a.         Tetap mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

b.        Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab kabul dalam akad-akad.

c.         Tetap berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.

d.        Jelas dan jauh dari perselisihan.

2.         Tujuan Distribusi dalam Ekonomi Islam

a.         Tujuan Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya.

b.        Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah at-Taubah ayat 103.

c.         Tujuan sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam distribusi sehingga tidak terjadi kerusuhan dan perkelahian.

d.        Tujuan Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya, memberdayakan SDM, kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam menempatkan sesuatu.

3.         Etika Distribusi

a.       Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.

b.      Transfaran, dan barangnya halal serta tidak membahayakan.

c.       Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.

d.      Tolong menolong, toleransi dan sedekah.

e.       Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.

f.       Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi.

g.      Larangan Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.

h.      Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa memikirkan orang lain.

i.        Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.

j.        Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.[21]

4.         Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’)

Menurut Syekh Mahmud Syaltut, bahwa jaminan sosial adalah suatu keharusan diantara keharusan-keharusan persaudaraan, bahkan suatu yang paling utama, yaitu perasaan tanggung jawab dari yang satu terhadap yang lain, dimana setiap orang turut memikul beban saudaranya, dan dipikul bebannya oleh saudaranya, dan selanjutnya ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya dan bertanggung jawab terhadap saudaranya.

Jaminan sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada setiap anggota masyarakat.

KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM

1.    DEFINISI

a.    Definisi Etika

Secara etimologi,Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunaniethikos mempunyai beragam arti : pertama, sebagai analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan yang baik secara moral.

Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk.
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
b.    Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir). Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah ; 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum.
Dalam hal ini, ada dua definisi tentang pengertian perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu menurut mufassir dan ilmu fikih :
1. Menurut Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan   keuntungan.
2. Menurut Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian.
Menurut cara yang dibolehkan penjelasan dari pengertian diatas :
a. Perdagangan adalah satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara   seorang dengan orang lain.
b. Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
c. Perdagangan yang dilaksanakan bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan.
c.    Definisi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
2.    DASAR HUKUM

a.    Al Baqarah : 282
b.    An Nisa’ : 29
c.    At Taubah : 24
d.    An Nur : 37
e.    As Shaff : 10

B.    TUJUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1.    Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2.    Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3.    Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4.    Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.

C.    PANDUAN RASULULLAH DALAM ETIKA BISNIS
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah:
1.    Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2.    Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3.    Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
D.    BEBERAPA TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya yang  berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai dinamika peradaban yang dominan. Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada model etika di Barat justru menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung merenggut manusia dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan rasionalisme dan keduniawian. Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan antar manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadis. 
1.    Etika Dalam Perspektif Barat

Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas, antara lain :
a.    Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama,  konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya.
b.    Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan “hasil” atau “konsekuensi” seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama, Teori Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan. Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c.    Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1)    Personal Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan individu.
2)    Ethical Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah yang bersangkutan.
3)    Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya menjadi.
4)    Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
5)    Teori Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2.    Etika dalam Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan “Akal” sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan “Al-Qur’an” sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
a.    Teleologi Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan kelompok adalah penting dan tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b.    Distributive Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c.    Deontologi dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal. Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik, maka tetap tidak baik.
d.    Eternal Law dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah sebagai proses penyucian diri.
e.    Relativisme dalam Islam adalah perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f.    Teori Hak dalam Islam adalah menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima. Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.

E.    KETENTUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1.    Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.    Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.   Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan.
3.    Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4.    Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5.    Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.

F.    TINGKATAN APLIKASI ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.

CARA PENGEMBANGAN HARTA YANG DILARANG

Hukum syari’at Islam telah menjadikan masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang individu untuk mengembangkan kepemilikannya dengan cara-cara tertentu, antara lain:

A.PERJUDIAN
Syara’ telah melarang perjudian tersebut dengan larangan yang tegas. Bahkan, syara’ menganggap harta yang diperoleh dengan cara perjudian tersebut, sebagai harta yang bukan hak milik. Allah SWT berfirman:

(Q.S. Al Maidah: 90-91)

Allah SWT telah mengharamkan khamer dan perjudian dengan beberapa bentuk ta’kid (stressing). Antara lain, mengawali kalimat dengan lafadz “innama”. Allah juga mengaitkan keduanya dengan menyembah berhala. Disamping itu, Allah juga menjadikan keduanya najis. Sebagaimana Allah SWT menyatakan:

(Q.S. Al Hajj: 30)

Allah juga telah menjadikan keduanya sebagai perbuatan syaithan. Padahal, syaithan tidak akan memberikan sesuatu selain kejahatan. Allah juga telah memerintahkan agar menjauhinya, bahkan menjauhinya merupakan suatu keberuntungan. Apabila menjauhinya dianggap suatu keberuntungan, maka mendekatinya adalah suatu kerugian. Dan diantara bentuk stressing tersebut adalah timbulnya ancaman, yaitu munculnya permusuhan dan kebencian di kalangan peminum khamer dan pelaku perjudian, bahkan bisa menyebabkan jauh dari dzikir kepada Allah dan ingat waktu shalat. Firman Allah:

(Q.S. Al Maidah: 91)

merupakan bentuk larangan yang paling tegas. Seakan-akan Allah hendak mengatakan: “Kalian sudah dibacakan ayat-ayat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam larangan. Apakah dengan adanya larangan-larangan ini, kalian berhenti?”
Yang termasuk dalam katagori perjudian adalah kupon undian, apapun bentuknya dan apapun sebab yang dipergunakan untuk membuatnya. Dan yang juga termasuk perjudian adalah pertaruhan dalam perlombaan kuda. Sedangkan harta hasil perjudian itu hukumnya haram, dan tidak boleh dimiliki.

B.RIBA
Syara’ telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba itu hukumnya jelas-jelas haram. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT berfirman:

(Q.S. Al Baqarah: 275)

(Q.S. Al Baqarah: 278-279)

C.PENIPUAN
Al Ghabn menurut bahasa bermakna al khada’ (penipuan). Dikatakan: Ghabanahu ghabanan fil bai’ was syira’; khada’ahu wa ghalabahu (Dia benar-benar menipunya dalam jual beli; yaitu menipunya dan mengalahkannya), Ghabana Fulanan; naqashahu fits tsaman wa ghayyarahu, fahuwa ghabin wa dzaka maghbun (Dia menipu si Fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya. Maka, dia adalah penipu sedangkan di Fulan itu adalah pihak yang tertipu). Ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan harga rendah dari harga rata-rata. Ghabn yang keji hukumnya memang haram, menurut syara’. Sebab, ghabn tersebut telah ditetapkan berdasarkan hadits yang shahih, dimana hadits tersebut menuntut agar meninggalkan ghabn tersebut dengan tuntutan yang tegas.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah Bin Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa dia telah menipu dalam jual beli, maka beliau bersabda:

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: Ada seorang laki-laki hidup pada masa Rasulullah SAW. Dia biasa menjual, padahal dia dalam “pengawasan”, maksudnya akalnya lemah lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW: ‘Wahai Nabi Allah, hijir saja si Fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli, padahal dia lemah akalnya.’ Lalu dia dipanggil oleh Nabi SAW, kemudian beliau melarangnya untuk melakukan jual beli. Dia kemudian berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap jual beli semacam ini.’ Lalu Nabi SAW bersabda: [1]‘Jika kamu tidak mau meninggalkan jual beli, maka katakan: ‘Ah, dan tidak ada penipuan.’”[1] Imam Al Bazzar juga meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW bahwa beliau melarang menjual barang-barang make up-an.
Khilaba –dengan dikasrah huruf kha’nya– maknanya adalah khadi’ah (penipuan). Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut ditinggalkan. Jadi, penipuan tersebut hukumnya haram. Dari sinilah, maka hukum penipuan (al ghabn) itu juga haram. Hanya saja, ghabn yang diharamkan adalah ghabn yang keji. Sebab, illat diharamkannya ghabn tersebut adalah karena ghabn itu merupakan penipuan dalam harga, dan tidak disebut penipuan kalau hanya sedikit (ringan). Karena ia merupakan ketangkasan pada saat menawar. Jadi, ghabn itu disebut penipuan, apabila sudah sampai pada taraf yang keji.

[1]Penipuan (Tadlis) Dalam Jual beli[1]
Pada dasarnya transaksi jual beli itu bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qabul antara penjual dan pembeli, lalu “majelis jual beli” tersebut telah berakhir, maka transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan penjual yang bersangkutan. Hanya masalahnya, ketika transaksi mu’amalah itu harus sempurna dengan suatu cara yang bisa menghilangkan perselisihan di antara individu, maka syara’ telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan (tadlis) dalam jual beli tersebut.

D.PENIMBUNAN
Penimbunan secara mutlak dilarang, dan hukumnya haram. Karena adanya larangan yang tegas di dalam hadits. Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Sa’id Bin Al Musaib dari Ma’mar Bin Abdullah Al Adawi, bahwa Nabi SAW bersabda:

“Rasulullah SAW telah melarang penimbunan makanan.”

Larangan di dalam hadits tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan. Sementara cercaan bagi orang yang melakukan penimbunan tersebut dengan sebutan khati’ –padahal khati’ tersebut adalah orang yang berdosa yang berbuat maksiat– adalah sebagai indikasi yang menunjukkan, bahwa tuntutan untun meninggalkan tersebut bermakna tegas (jazm). Dari sinilah, maka hadits-hadits tersebut menunjukkan haramnya melakukan penimbunan.

E.PEMATOKANHARGA
Allah SWT telah menjadikan kepada tiap orang agar membeli dengan harga yang disenangi. Ibnu Majjah meriwayatkan dari Abi Sa’id yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:

[1]“Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.”

Tinggalkan komentar